Sabtu, 27 Juli 2013

Cerpen [Titip Rindu Buat Ayah]



            “Sugar, come up!” Suara seorang pria sembari mengelus kepalaku. Aku tau betul ini suara Ayah. Aku bergegas bangun tapi tak kudapati sosok Ayah di kamarku. Tanpa sadar, mataku mulai berair, mungkin karena terlalu rindunya aku pada Ayah. Aku segera mengusap air mata yang belum sempat menetes di pipiku. Pagi itu langkahku tertuju ke pintu kamarku. Aku berniat mencari Ibu dan menanyakan soal Ayah. Aku ingin menelpon Ayah, tapi setiap kali kuutarakan niatku, Ibu selalu juga berkata kalau Ayah sedang pergi jauh dan tidak boleh diganggu. Sudah hampir dua tahun ini aku tidak bertemu Ayah. Aku rindu sekali pada Ayah. Terakhir yang aku ingat sebelum Ayah pergi mengenakan pakaian tentara itu, Ayah berjanji akan pulang dan membawakanku boneka beruang yang sangat besar. Tapi sampai sekarang Ayah belum juga pulang. Ayah kemana?

            “Ibu, tadi Ayah bangunin Mia tapi waktu Mia udah bangun Ayah udah nggak ada, Ayah pasti turun, ya, bu? Ayah kemana, bu? Sini biar Mia yang nyamperin Ayah, Ayah pasti di kamar kan, bu? Mia mau mijitin Ayah, bu.” Ucapku pada Ibu yang waktu itu hendak menuju kamarku. Belum sempat turun dan menemui Ayah, tiba-tiba Ibu memelukku sambil menangis. Aku semakin bingung dengan keadaan keluargaku akhir-akhir ini. Aku sering sekali melihat Ibu menangis waktu Ibu berdoa setelah sholat. Aku sudah berkali-kali menanyakan kepada Ibu alasan Ibu menangis, tapi Ibu tidak pernah mau berkata jujur padaku. Awalnya aku sempat mengira Ibu menangis gara-gara aku sering mainan tissue gulung yang selalu Ibu letakkan di dapur. Tapi aku yakin bukan karena itu.

            “Ibu, kenapa menangis? Mia Cuma mau mijitin Ayah, bu. Habis itu Mia janji Mia langsung mandi dan sarapan. Ibu jangan nangis lagi, Mia nggak akan mengganggu istirahat Ayah,” jelasku sambil mengusap air mata Ibu.
            “Mia, sayang, yang datang tadi bukan Ayah. Mungkin itu perasaan Mia saja karena terlalu rindunya sama Ayah. Sabar, ya, anakku. Sebentar lagi Ayah pasti pulang,” kata Ibu menenangkanku. Tetapi justru kata-kata Ibu barusan membuatku menangis dan jengkel. Aku ingin sekali marah, tapi kepada siapa? Kenapa tidak ada yang mengerti aku sudah tidak sanggup membendung rinduku pada Ayah? A-ku-rin-du-A-yah!!!

Sejak saat itu aku sengaja merenggangkan hubunganku dengan Ibu. Aku sengaja diam kepada Ibu. Aku ingin Ibu menyadari kehampaan yang selama ini aku rasakan tanpa Ayah di sisiku. Aku ingin Ibu bertindak agar Ayah segera pulang. Tapi ternyata diamku selama beberapa bulan terakhir tidak lantas membuat Ayah pulang ke rumah. Aku benar-benar sudah tidak tau lagi bagaimana cara melampiaskan rinduku pada Ayah. Kak Edo tidak bisa menggantikan sosok Ayah bagiku. Kak Edo akan tetap menjadi Kak Edo, dan Ayah tetaplah Ayah, Ayah Mia yang sayang dan sangat protektif terhadap Mia. Hari ini rencananya aku akan mengurung diriku di kamar sebagai bentuk protesku terhadap Ibu. Aku tau ini kekanak-kanakkan, tapi bukankah aku memang masih anak-anak? Aku baru kemarin paham 1+1=2. Rasanya aku terlalu cepat  mengenal pelajaran berhitung, aku ingin Ayah yang mengajariku, bukan guru di Taman Kanak-kanakku. Ah sudahlah, mau diapakan lagi? Mungkin Ayah akan mengajariku hal lain, tidak sekedar menghitung apalagi membaca.
            “Tok tok tok,” suara pintu diketuk. Aku yakin sekali Ibu pasti menyuruhku sarapan. Tapi aku keukeh tidak akan keluar dari kamarku sebelum Ayah pulang. Aku pura-pura tidak mendengar suara ketukan pintu dan suara Ibu yang kelihatan lelah. Mungkin Ibu lelah menghadapi sikapku akhir-akhir ini. Aku bukannya egois, tapi aku rasa aku masih terlalu kecil untuk mengerti, apalagi berempati. Ibu berbicara panjang lebar membujukku keluar kamar. Ibu juga bilang kalau hari ini aku harus ikut Ibu ke sekolah. Hari ini aku akan di wisuda. Lengkap sudah hari-hari menyedihkanku tanpa Ayah. Masuk ke Taman Kanak-kanak tanpa Ayah dan sekarang aku harus meninggalkan sekolahku tanpa Ayah juga. Satu nafas panjang dihela, satu keputusan diambil. Aku berbesar hati membukakan pintu kamarku untuk Ibu. Ibu yang sebenarnya masih muda itu terlihat sangat pucat. Aku sedikit iba melihatnya. Aku buru-buru memeluk dan meminta maaf padanya. Aku tidak mau kelulusanku diiringi dengan air mata kesedihan. Aku ingin melihat senyum Ibu. Entah apa yang membuatku berpikiran seperti ini, tetapi yang jelas aku ingin sejenak melupakan soal Ayah. Aku harus kuat seperti Ibu dan Kak Edo.
                                                                            ---                            
            Ibu sengaja memilihkanku Sekolah Dasar yang tidak terlalu jauh dari rumah. Ibu mengkhawatirkan kondisiku yang memang sebenarnya tidak terlalu sehat. Aku mengidap penyakit turunan dari Ayah, asma. Meskipun tidak terlalu mengganggu tapi penyakit ini sering tiba-tiba kambuh. Aku sangat sadar betapa sayangnya Ibu padaku. Betapa khawatirnya dia ketika anaknya sakit. Dari situ aku mencoba menjadi lebih kuat. Demi Ibu…
            Aku sangat senang sekolah disana. Aku bisa dengan mudah melupakan Ayah. Aku punya banyak teman yang baik dan sayang padaku. Tidak jarang mereka mengajakku pergi bersama Ayahnya. Mungkin mereka kasihan melihatku yang dari awal masuk sekolah tidak pernah diantar atau dijemput oleh Ayah. Terdengar menyedihkan sekali, ya, kisah hidupku. Tumbuh dewasa tanpa belaian seorang Ayah. Tapi sekarang aku sadar banyak yang menyayangiku tidak hanya Ayah. Banyak pula urusan yang harus Ayah kerjakan di luar sana tidak hanya sekedar mengurus anaknya yang semakin hari semakin manja ini. Aku terus mengejar nilai akademikku agar selalu bisa mendapat ranking di kelas. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk Ayah dan Ibu. Aku ingin Ayah berdecak kagum padaku karena tetap bisa belajar tanpa Ayah sekalipun.
---
            Aku sedang mempersiapkan mentalku untuk tampil di panggung nanti. Aku sebagai juara umum kelulusan SD tahun ini akan menerima piala dan beasiswa dari sekolah. Aku sangat grogi. Rasanya baru kemarin aku masuk ke sekolah ini dan sekarang aku sudah lulus saja. Tanpa Ayah (lagi). Banyak cerita yang terukir selama aku sekolah disini. Banyak gelak tawa dan kenakalan-kenakalanku bersama teman-temanku yang masih menempel di otakku. Di sini, aku  belajar untuk tidak menangis saat ada yang menyinggung soal Ayah. Sekali lagi, aku ingin lebih kuat dari ini.
            Aku bertanya-tanya saat mobil butut Kak Edo berhenti di depan Tempat Pemakaman Umum sepulang dari perpisahan tadi. Aku, Ibu, dan Kak Edo berjalan menyusuri jalanan makam dan berhenti tepat disamping batu nisan bertuliskan nama orang yang familiar bagiku. Itu nama Ayahku! Aku menangis sejadi-jadinya di samping makam Ayah. Ibu memelukku tapi aku berusaha menolak. Ibu bersikeras menghibur dan berusaha menguatkan hatiku hingga tiba-tiba asmaku kambuh. Ibu bergegas mengambil obat yang biasa aku letakkan di sakuku dan membawaku ke tempat yang teduh. Kak Edo terlihat kerepotan menggendongku. Aku segera bangkit dari kambuhnya penyakitku. Aku mengerti betul aku ini sudah besar. Aku harus bisa mendengarkan penjelasan Ibu sebelum aku memutuskan untuk marah kepada Ibu. Ibu bercerita tentang kejadian yang membuat Ayah pergi sedemikian cepat. Tentang tugas Ayah sebagai tentara yang akhirnya merenggut nyawa Ayah. Aku tidak pernah punya pikiran sampai sejauh ini. Tidak pernah terbesit di benakku akan melihat makam Ayah secepat ini. Ayah terlalu sebentar mengajariku menjadi gadis kecil Ayah yang periang. Aku belum bisa kalau tidak ada Ayah. Tapi setidaknya Ayah sudah mengajariku tentang arti kesabaran untuk bertahan pada kehidupan yang keras ini. Ayah membuatku bisa berpikir dewasa sehingga mau membukakan pintu untuk Ibu waktu aku mengurung diri di kamar. Ayah baik-baik, ya, di sana. Ayah, jaga Mia, Ibu, dan Kak Edo, ya, dari sana. Ayah harus lihat Mia sukses dari sana. Mia janji nggak akan nakal dan bikin Ibu nangis. Mia janji akan jagain Ibu buat Ayah. Teruntuk Ayah, ada dan tidaknya dirimu aku akan terus menyayangi dan merindukanmu. Titip rindu buat Ayah, ya, Tuhan!