“Sugar, come up!” Suara seorang pria
sembari mengelus kepalaku. Aku tau betul ini suara Ayah. Aku bergegas bangun
tapi tak kudapati sosok Ayah di kamarku. Tanpa sadar, mataku mulai berair,
mungkin karena terlalu rindunya aku pada Ayah. Aku segera mengusap air mata
yang belum sempat menetes di pipiku. Pagi itu langkahku tertuju ke pintu
kamarku. Aku berniat mencari Ibu dan menanyakan soal Ayah. Aku ingin menelpon
Ayah, tapi setiap kali kuutarakan niatku, Ibu selalu juga berkata kalau Ayah
sedang pergi jauh dan tidak boleh diganggu. Sudah hampir dua tahun ini aku
tidak bertemu Ayah. Aku rindu sekali pada Ayah. Terakhir yang aku ingat sebelum
Ayah pergi mengenakan pakaian tentara itu, Ayah berjanji akan pulang dan
membawakanku boneka beruang yang sangat besar. Tapi sampai sekarang Ayah belum
juga pulang. Ayah kemana?
“Ibu, tadi Ayah bangunin Mia tapi
waktu Mia udah bangun Ayah udah nggak ada, Ayah pasti turun, ya, bu? Ayah
kemana, bu? Sini biar Mia yang nyamperin Ayah, Ayah pasti di kamar kan, bu? Mia
mau mijitin Ayah, bu.” Ucapku pada Ibu yang waktu itu hendak menuju kamarku.
Belum sempat turun dan menemui Ayah, tiba-tiba Ibu memelukku sambil menangis. Aku semakin
bingung dengan keadaan keluargaku akhir-akhir ini. Aku sering sekali melihat
Ibu menangis waktu Ibu berdoa setelah sholat. Aku sudah berkali-kali menanyakan
kepada Ibu alasan Ibu menangis, tapi Ibu tidak pernah mau berkata jujur padaku.
Awalnya aku sempat mengira Ibu menangis gara-gara aku sering mainan tissue
gulung yang selalu Ibu letakkan di dapur. Tapi aku yakin bukan karena itu.
“Ibu, kenapa menangis? Mia Cuma mau
mijitin Ayah, bu. Habis itu Mia janji Mia langsung mandi dan sarapan. Ibu jangan
nangis lagi, Mia nggak akan mengganggu istirahat Ayah,” jelasku sambil mengusap
air mata Ibu.
“Mia, sayang, yang datang tadi bukan
Ayah. Mungkin itu perasaan Mia saja karena terlalu rindunya sama Ayah. Sabar,
ya, anakku. Sebentar lagi Ayah pasti pulang,” kata Ibu menenangkanku. Tetapi
justru kata-kata Ibu barusan membuatku menangis dan jengkel. Aku ingin sekali
marah, tapi kepada siapa? Kenapa tidak ada yang mengerti aku sudah tidak
sanggup membendung rinduku pada Ayah? A-ku-rin-du-A-yah!!!
Sejak saat itu
aku sengaja merenggangkan hubunganku dengan Ibu. Aku sengaja diam kepada Ibu.
Aku ingin Ibu menyadari kehampaan yang selama ini aku rasakan tanpa Ayah di
sisiku. Aku ingin Ibu bertindak agar Ayah segera pulang. Tapi ternyata diamku
selama beberapa bulan terakhir tidak lantas membuat Ayah pulang ke rumah. Aku
benar-benar sudah tidak tau lagi bagaimana cara melampiaskan rinduku pada Ayah.
Kak Edo tidak bisa menggantikan sosok Ayah bagiku. Kak Edo akan tetap menjadi
Kak Edo, dan Ayah tetaplah Ayah, Ayah Mia yang sayang dan sangat protektif
terhadap Mia. Hari ini rencananya aku akan mengurung diriku di kamar sebagai
bentuk protesku terhadap Ibu. Aku tau ini kekanak-kanakkan, tapi bukankah aku
memang masih anak-anak? Aku baru kemarin paham 1+1=2. Rasanya aku terlalu
cepat mengenal pelajaran berhitung, aku
ingin Ayah yang mengajariku, bukan guru di Taman Kanak-kanakku. Ah sudahlah,
mau diapakan lagi? Mungkin Ayah akan mengajariku hal lain, tidak sekedar
menghitung apalagi membaca.
“Tok tok tok,” suara pintu diketuk. Aku yakin sekali Ibu
pasti menyuruhku sarapan. Tapi aku keukeh tidak akan keluar dari kamarku
sebelum Ayah pulang. Aku pura-pura tidak mendengar suara ketukan pintu dan
suara Ibu yang kelihatan lelah. Mungkin Ibu lelah menghadapi sikapku
akhir-akhir ini. Aku bukannya egois, tapi aku rasa aku masih terlalu kecil
untuk mengerti, apalagi berempati. Ibu berbicara panjang lebar membujukku
keluar kamar. Ibu juga bilang kalau hari ini aku harus ikut Ibu ke sekolah.
Hari ini aku akan di wisuda. Lengkap sudah hari-hari menyedihkanku tanpa Ayah.
Masuk ke Taman Kanak-kanak tanpa Ayah dan sekarang aku harus meninggalkan
sekolahku tanpa Ayah juga. Satu nafas panjang dihela, satu keputusan diambil.
Aku berbesar hati membukakan pintu kamarku untuk Ibu. Ibu yang sebenarnya masih
muda itu terlihat sangat pucat. Aku sedikit iba melihatnya. Aku buru-buru
memeluk dan meminta maaf padanya. Aku tidak mau kelulusanku diiringi dengan air
mata kesedihan. Aku ingin melihat senyum Ibu. Entah apa yang membuatku
berpikiran seperti ini, tetapi yang jelas aku ingin sejenak melupakan soal
Ayah. Aku harus kuat seperti Ibu dan Kak Edo.
---
Ibu sengaja memilihkanku Sekolah Dasar yang tidak terlalu
jauh dari rumah. Ibu mengkhawatirkan kondisiku yang memang sebenarnya tidak
terlalu sehat. Aku mengidap penyakit turunan dari Ayah, asma. Meskipun tidak
terlalu mengganggu tapi penyakit ini sering tiba-tiba kambuh. Aku sangat sadar
betapa sayangnya Ibu padaku. Betapa khawatirnya dia ketika anaknya sakit. Dari
situ aku mencoba menjadi lebih kuat. Demi Ibu…
Aku sangat senang sekolah disana. Aku bisa dengan mudah
melupakan Ayah. Aku punya banyak teman yang baik dan sayang padaku. Tidak
jarang mereka mengajakku pergi bersama Ayahnya. Mungkin mereka kasihan
melihatku yang dari awal masuk sekolah tidak pernah diantar atau dijemput oleh
Ayah. Terdengar menyedihkan sekali, ya, kisah hidupku. Tumbuh dewasa tanpa
belaian seorang Ayah. Tapi sekarang aku sadar banyak yang menyayangiku tidak
hanya Ayah. Banyak pula urusan yang harus Ayah kerjakan di luar sana tidak
hanya sekedar mengurus anaknya yang semakin hari semakin manja ini. Aku terus
mengejar nilai akademikku agar selalu bisa mendapat ranking di kelas. Untuk
siapa lagi kalau bukan untuk Ayah dan Ibu. Aku ingin Ayah berdecak kagum padaku
karena tetap bisa belajar tanpa Ayah sekalipun.
---
Aku sedang mempersiapkan mentalku untuk tampil di
panggung nanti. Aku sebagai juara umum kelulusan SD tahun ini akan menerima
piala dan beasiswa dari sekolah. Aku sangat grogi. Rasanya baru kemarin aku
masuk ke sekolah ini dan sekarang aku sudah lulus saja. Tanpa Ayah (lagi).
Banyak cerita yang terukir selama aku sekolah disini. Banyak gelak tawa dan
kenakalan-kenakalanku bersama teman-temanku yang masih menempel di otakku. Di
sini, aku belajar untuk tidak menangis
saat ada yang menyinggung soal Ayah. Sekali lagi, aku ingin lebih kuat dari
ini.
Aku bertanya-tanya saat mobil butut Kak Edo berhenti di
depan Tempat Pemakaman Umum sepulang dari perpisahan tadi. Aku, Ibu, dan Kak
Edo berjalan menyusuri jalanan makam dan berhenti tepat disamping batu nisan
bertuliskan nama orang yang familiar bagiku. Itu nama Ayahku! Aku menangis
sejadi-jadinya di samping makam Ayah. Ibu memelukku tapi aku berusaha menolak.
Ibu bersikeras menghibur dan berusaha menguatkan hatiku hingga tiba-tiba asmaku
kambuh. Ibu bergegas mengambil obat yang biasa aku letakkan di sakuku dan
membawaku ke tempat yang teduh. Kak Edo terlihat kerepotan menggendongku. Aku
segera bangkit dari kambuhnya penyakitku. Aku mengerti betul aku ini sudah
besar. Aku harus bisa mendengarkan penjelasan Ibu sebelum aku memutuskan untuk
marah kepada Ibu. Ibu bercerita tentang kejadian yang membuat Ayah pergi
sedemikian cepat. Tentang tugas Ayah sebagai tentara yang akhirnya merenggut
nyawa Ayah. Aku tidak pernah punya pikiran sampai sejauh ini. Tidak pernah
terbesit di benakku akan melihat makam Ayah secepat ini. Ayah terlalu sebentar
mengajariku menjadi gadis kecil Ayah yang periang. Aku belum bisa kalau tidak
ada Ayah. Tapi setidaknya Ayah sudah mengajariku tentang arti kesabaran untuk
bertahan pada kehidupan yang keras ini. Ayah membuatku bisa berpikir dewasa
sehingga mau membukakan pintu untuk Ibu waktu aku mengurung diri di kamar. Ayah
baik-baik, ya, di sana. Ayah, jaga Mia, Ibu, dan Kak Edo, ya, dari sana. Ayah
harus lihat Mia sukses dari sana. Mia janji nggak akan nakal dan bikin Ibu
nangis. Mia janji akan jagain Ibu buat Ayah. Teruntuk Ayah, ada dan tidaknya
dirimu aku akan terus menyayangi dan merindukanmu. Titip rindu buat Ayah, ya,
Tuhan!
0 komentar:
Posting Komentar